Menyelamatkan Indonesia dengan Syariat dan Khilafah?
Oleh: Toufik Imtikhani, SIP
KETIKA sedang naik sebuah bis di Yogyakarta pada tahun 1999, atau 20 tahun yang lalu, penglihatan saya tertuju kepada sebuah stiker yang menempel di kaca bis dan bertuliskan “ selamatkan Indonesia dengan syariat”. Tulisan itu, pada saat itu mungkin dapat dipahami, karena periode itu adalah periode krisis multi-dimensional yang menimpa negara kita, baik ekonomi, politik, sosial, dan keamanan, serta krisis-krisis lain yang sulit diidentifikasi. Dalam keadaan terpuruk seperti itu, bayangan berbagai cara dan jalan untuk memecahkan masalah, tentu bermunculan. Salah satunya dari kelompok umat Islam tertentu dengan menjadikan syariat sebagai preferensi final. Kemudian impelentasi cita-cita ini, akan bermuara kepada pembentukan sistem negara khilafah.
Lebih dari 20 tahun yang lalu saya membaca stiker tersebut. Pada saat itu mungkin dapat dipahami. Kini saat itu telah berlalu. Namun suara-suara untuk “ menyelamatkan Indonesia dengan Syariat” masih sayup-sayup terdengar. Bahkan nampaknya ber-resonansi dengan kuat. Angat-angan untuk mendirikan khilafah juga bergerak semakin masif.
Cita-cita itu nampak begitu sederhana. Dengan syariat dan khilafah, selesailah seluruh persoalan kebangsaan. Salah satu unsur atau semua statemen tentang syariat, adalah sesuatu yang rumit, dan dapat mengundang diskusi panjang yang dapat menguras energi kita.
Pertama, apakah dengan menerapkan syariat ( Islam ) kita dapat menyelamatkan Indonesia? Syariat Islam yang mana, menurut siapa?
Kedua, apakah syariat Islam itu merupakan pilihan final?
Ketiga, perlukah kita melakukan formalisasi terhadap syariat Islam?
***
Oke, sebagian orang mengatakan, mungkin karena tidak senang terhadap pemerintah, bahwa setelah 20 tahun berlalu, krisis yang pernah kita hadapi pada tahun 1998-1999, belum juga berhasil diselesaikan. Tak mengapa kita berangkat dari premis ini. Walaupun kita harus akui, ada perlambatan dalam hal konsolidasi pembangunan dan demokrasi. Dan persoalan tersebut telah didiagnosa, serta diobati dengan berbagai eksperimen politik, seperti Pemilu langsung dan Pilkada langsung. Diagnosa politik ini nampaknya tidak terlalu komprehensif, karena justru dalam banyak hal menyisakan reperkusi secara sosial-politik yang dapat mengancam integrasi nasional. Kita beranggapan bahwa krisis bersumber dari masalah kepemimpinan. Namun ternyata setelah para pemimpin berganti dari yang satu kepada yang lain, hal itu tidak menyelesaikan masalah bangsa secara tepat dan cepat. Artinya bahwa kesimpulan diagnosis kita terhadap masalah kebangsaan, terlalu simplificated, terlalu sederhana.
Cita-cita “ menyelamatkan Indonesia dengan syariat” juga merupakan contoh penyederhanaan kesimpulan dari masalah kebangsaan. Seolah-olah dengan syariat, dan juga khilafah, bim salabim, selesailah semua persoalan bangsa.
Sebagai muslim, tentu kita tak pernah ragu sedikitpun atas adagium Islam ya’lu walaa yu’la ;alaihi. Islam sholih lii kulli zaman wal makan. Islam adalah sempurna dan senantiasa up to date.
Tetapi hendaknya dipahami, bahwa syariat dan fiqh adalah hal yang berbeda. Fiqh adalah bagian dari syariat. Untuk dapat diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari, yang kita pakai adalah fiqh, sebagai interpretasi yang sederhana dan aplicated agar dapat dilaksanakan sebagai tindakan praktis.
Sementara kaum muslimin terdiri dari banyak segmen, golongan, kelompok, aliran yang dipengaruhi oleh nilai-nilai suku-bangsa, yang tentunya banyak perbedaan penafsiran ( fiqh ) terhadap syariat.
Hal ini juga sekaligus menunjukkan bahwa fiqh, sebagai kodifikasi hukum Islam yang praktis, memerlukan dan membutuhkan proses dialogis dan dialektis dengan berbagai situasi dan kondisi yang ada atau sedang berkembang.
Para fuqaha besar di masa lampau tidak ada satu pun yang memutlakkan kebenaran pendapat hukumnya, dan mengharuskan untuk diikuti. Iman Syafi’i pun merevisi beberapa pendapatnya dalam qoulul qodiem sewaktu beliau tinggal di Baghdad, menjadi pendapat yang baru ( qoulul jadid ), setelah beliau pindah ke Mesir.
Maka dalam hal fiqh, menjadi sesuatu yang naif sekali bahwa apa yang berlalaku bagi kelompok tertentu, di suatu tempat dan zaman tertentu, dapat berlaku seluruhnya bagi kelompok yang lain, di tempat yang lain dalam zaman yang berbeda. Oleh karena itu, kadang perlu reaktualisasi dan penafsiaran ulang terhadap fiqh, untuk bisa menyesuaikan keadaan, sehingga Islam senantiasa sholih lii kulli zaman wal makan.
Maka pemakaian istilah syariat terhadap fiqh, adalah sesuatu yang salah kaprah. Pemakaian ini hanyalah bagian dari propaganda dan kampanye politik kelompok Islam tertentu, untuk mendapatkan dukungan segementasi umat Islam yang mayoritas. Kelompok ini juga akan mendapatkan keuntungan yang besar jika syariat Islam dan khilafah diterapkan di suatu negara, termasuk Indonesia. Kritik dan perlawanan terhadap syariat dan sistem khilafah, akan dianggap kafir dan akan menerima hukuman sesuai dengan prinsip-prinsip syariat ( padahal fiqh ) yang mereka pahami.
***
Dengan demikian,tuntutan pemberlakuan syariat adalah sebuah gerakan politik , dibanding sebuah kesadaran akan perlunya sebuah hukum yang lebih baik. Sebagai gerakan politik, dengan sendirinya pengatasnamaan Islam adalah sebuah intrik dan manuver politik yang sangat manipulatif. Umat Islam harus waspada terhadap upaya ini. Sebab mereka berlaku secara tidak elegan dan genial dengan menjual nama agama untuk kepentingan mereka sendiri. Jika syariat Islam dan lembaga khilafah berhasil didirikan, mereka tidak akan rela di pimpin oleh orang-orang yang berada di luar kelompok mereka. Sebagai gerakan politik, maka tuntutan mereka dapat membuka konflik baru dan menambah ruetnya permasalahan bangsa di bandingkan menyelesaikan persoalan bangsa yang kita hadapi.
Disamping istilah syariat mengandung unsur manipulatif, harus dipahami bahwa penerapan syariat tidak identik dengan hukuman potong tangah dan rajam an-sich. Persoalan bangsa dan pengelolaan negara bukan hal yang mudah untuk dipahami dari satu segi saja, kemudian masalah itu selesai. Konpleksitas masalah yang dihadapi bangsa dari waktu ke waktu, tempat dan tempat, membutuhkan perangkat aturan yang fleksibel dan mempunyai daya akomodasi, adaptasi dan akseptasi yang tinggi. Penyesuaian-penyesuaian hukum perlu dilakukan di sana sini agar perkembangan hukum tidak ketinggalan dengan perkembangan zaman dan masyarakat. Sangat terbuka peluang bahwa pada hukum nasional kita menerima, dipengaruhi oleh sistem hukum yang lain , sepanjang hal tersebut berguna bagi regulasi kehidupan bangsa, termasuk didalamnya tentu hukum Islam.
Pada kenyataanya kita melihat bahwa meskipun syareat Islam tidak diterapkan seluruhnya, toh kepentingan umat Islam dapat diakomodasi oleh hukum nasional. Sebagai contoh diberlakukannya UU Zakat dan Haji. Beberapa wilayah daerah, seperti Aceh, misalnya, menerapkan perda syariat islam. Pembatasan minuman keras/beralkohol, juga sesuai dengan semangat Islam.
Dalam hukum tata negara, secara eksplisit atau pun implisit, mengenai bentuk, model teknis pengelolaan negara, dapat dikatakan, tidak diatur dalam Islam. Tetapi perintah untuk taat kepada ulul amri, dan berbuat adil, adalah sendi pentingnya penyelenggaraan kehidupan bernegara.
***
Penetapan syariat islam justru dapat dipandang sesuatu yang tidak adil, karena secara faktual, disamping keberadaan umat Islam, secara ko-eksistensi, hidup pula umat-umat lain yang sangat beragam. Penerapan syariat Islam justru akan mengganggu integrasi nasional, yang mana melalui sistem hukum itulah diatur bagaimana kewajiban dan hak kita sebagai warganegara.
Dari sisi normal politik, penerapan syariat Islam akan menyebabkan kelompok-kelompok non-muslim akan merasa dikalahkan. Perlakuan yang diskriminatif terhadap agama dan keyakinan mereka akan menimbulkan reperkusi yang dasyat dan mengancam kehidupan bangsa. Di sisi lain, pemberlakuan syariat Islam juga akan menimbulkan kegenitan pada diri umat islam, menimbulkan sikap hipokrit, dan kepatuhan semu terhadap hukum negara. Jika pemberlakuan syariat Islam dipaksakan, maka ia akan menjadi alat penguasa, yang tentunya penguasa Islam, untuk kepentingan mereka sendiri .
Dari sinilah kita melihat, bahwa umat Islam baru terjaga dari tidurnya, dan mendapat dirinya berada dan hidup dalam negara nasional-modern, yang secara faktual jauh dari atribusi formal-keislaman. Mereka terjebak kepada romantisme masa lalu, bermimpi hidup di negara Madinah di era Nabi Muhammad SAW. Ia mengalami frustasi yang parah. Dalam negara nasional-modern, tak ada yang dapat mereka lakukan, kecuali bermimpi.
Persoalan yang kita hadapi sekarang bukan masalah apa dan dari mana sumber hukum yang kita pakai. Sebaik apapun hukum yang kita pakai dan kita miliki, akan sia-sia saja kalau kita tidak mempunyai komitmen untuk menegakkannya. Lemahnya komitmen moral dan politik dari seluruh aparat penegak hukumnya, dan tentu juga masyarakat, menjadi pokok persoalan yang rumit. Aturan hukum seperti sampah yang diinjak-injak. Wibawa lembaga peradilan, merosot tajam, akibat ulah aparatnya sendiri. Rakyat banyak melakukan caranya sendiri untuk mencari dan menegakkan keadilan. Mafia peradilan tumbuh dimana-mana. Para politisi dan orang-orang kuat, mempermainkan hukum untuk kepentingannya sendiri. Situasi menjadi kacau. Hukum yang mengatur segala relasi dan interaksi orang perorang, orang dan kelompok, kelompok dan kelompok, negara dan rakyat, kehilangan sendi dan fungsi fundamentalnya. Di sinilah kehidupan sebagai bangsa dipertaruhkan.***
Cilacap, 22 Agustus 2019