Gaung Gerakan ‘Muslim tanpa Masjid’ di Indonesia
“Muslim tanpa masjid” merupakan istilah yang pernah dikenalkan salah seorang intelektual Kuntowijoyo yang kemudian menjadi judul buku kumpulan esainya. Daya analisis ilmiah dan intelektual penulisnya, memang tampak kuat saat itu, dan mungkin baru bisa dirasakan di era sekarang ini. Berbekal buku itu, seolah layak bagi penulisnya untuk disejajarkan dengan Nurkholis Madjid yang akrab di panggil Cak Nur dan KH Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur.
Beda Kuntowijoyo dengan kedua tokoh terakhir yang telah disebutkan tadi, adalah ia berangkat murni dari seorang cendekiawan, pemikir ideologis, dan sekaligus sastrawan jalanan, yang akrab berkecimpung dalam dunia akademis dan pendidikan. Ujungnya, ia tidak memiliki basis massa untuk menopang pergerakan. Kerja nyatanya adalah menyampaikan pemahaman dan penalaran lewat dunia akademis kepada para mahasiswa, lewat undangan seminar-seminar, atau ceramah-ceramah ilmiah.
Lain halnya dengan Cak Nur dan Gus Dur. Cak Nur memiliki basis kuat intelektual dan akademisnya lewat Paramadina yang dibidaninya dan basis massa mahasiswa HMI. Itu wajar saja karena memang Cak Nur pernah menjadi petinggi di organisasi mahasiswa ini. Sementara itu, Gus Dur memiliki basis kultural yang lebih kuat lagi melebihi Cak Nur. Basisnya tidak hanya berkutat di kalangan mayoritas masyarakat Muslim Indonesia, khususnya Nahdlatul Ulama (NU) yang pernah dipimpinnya, melainkan juga di kalangan mahasiswa PMII, bahkan komunitas agama lain serta penganut kepercayaan di Indonesia yang sering dibelanya, seperti komunitas Konghucu.
Buku lain :