Gaung Gerakan ‘Muslim tanpa Masjid’ di Indonesia
Jargon yang dibawa Gus Dur melalui konsep pluralisme terbukti berbeda dengan konsep pluralitasnya Cak Nur sehingga menyisakan adanya dua kutub dukungan yang kuat terhadap mereka berdua dan bahkan kutub inilah yang kemudian mengantarkan Gus Dur dalam memegang tampuk kekuasaan tertinggi di Indonesia, di awal-awal reformasi.
Adapun topik Muslim tanpa masjid, setidaknya yang menjadi fokus perhatian Kuntowijoyo di sini, berfokus pada gerakan yang super terstruktur dari anak-anak muda Muslim perkotaan. Eksklusivisme menjadi karakteristik dari gerakan tersebut–mereka menjaga jarak dari dua kutub gerakan mahasiswa yang selama itu berkembang.
Gerakan dari Muslim tanpa masjid ini tidak sebagaimana lazimnya kemunculan NU dan Muhammadiyah di awal sejarahnya. NU jelas kemunculannya dari keprihatinan basis Islam kultural yang bernuansakan santri Pesantren terhadap Wahabisme di Arab, dengan awal melembaga sebagai Komite Hijaz. Oleh karenanya, cita rasa yang muncul di permukaan adalah kultur kepesantrenannya, mazhab yang dianutnya, serta tidak tercerabut dari akar budaya masyarakat Indonesia, seperti ketakziman pada kiai atau tokoh yang dituakan.
Adapun Muhammadiyah, sejak awal berdirinya memang sudah bangkit dari dunia akademisi dan pendidikan. Itulah sebabnya, ia dicirikan sebagai berkultur modernisme karena kontribusinya dalam dunia tersebut. Akibatnya, geneologi gerakan yang mencuat di permukaan dari keduanya pun juga tampak dan bisa diketahui karakteristiknya. NU dicirikan sebagai Islam kultural, sementara Muhammadiyah dicirikan sebagai Islam modern.
Buku lain :