Perbedaan Riba dan Jual Beli Kredit dalam Fiqih Muamalah
Kaidah dasar ini adalah pernyataan tentang riba qardhi, yaitu sebuah syarat tambahan yang disampaikan kepada pihak da’in (debitor) oleh muqridh (kreditor) agar debitor memberikan tambahan manfaat berupa harta (value) seiring harta yang dipinjamkannya seiring waktu penundaan (value based time).
Secara bahasa, riba sering kali diartikan sebagai bermakna az-ziyadah yang bermakna tambahan. Tambahan yang dimaksud dalam konteks ini bersifat umum, yaitu semua tambahan terhadap pokok utang atau harta. Namun, seiring Islam memberikan legitimasi terhadap muamalah jual beli dan tidak memberikan legitimasi terhadap muamalah yang diperoleh dari riba, maka konsep tambahan terhadap pokok harta (ra’sul mal) ini dibagi menjadi 2, yaitu: antara ribhun (laba) dan riba.
Istilah laba umumnya diperoleh melalui muamalah jual beli (bai’). Sementara asal riba diperoleh karena adanya syarat tambahan pada kasus utang piutang barang atau biasa dikenal dengan istilah jual beli kredit yang tidak diketahui kapan waktu akhir pelunasannya (waqtul hulul). Dalam kasus riba yang diperoleh dari utang-piutang, kemudian muncul qaidah dasar yang masyhur:
كل قرض جرى نفعا للمقرض فهو ربا
Artinya, “Semua transaksi utang yang mengambil kemanfaatan bagi pihak yang diutangi (kreditor), maka ia adalah riba.”
Buku lain :