Semangat Kebangsaan dalam Al-Wala wal Bara
Alhafiz Kurniawan – Al-wala wal bara sering kali dipahami dengan melewati batas sebagai perintah agama untuk bersikap eksklusif (menutup diri) dan intoleran terhadap kelompok lain yang berbeda dengan kelompoknya. Pemahaman yang melewati batas ini biasanya didukung oleh dalil Al-Qur’an dalam Surat Al-Mujadalah ayat 22, Surat Ali Imran ayat 118, Al-Maidah ayat 51 dan 57, At-Taubah ayat 23-24, dan Al-Mumtahanah ayat 4. Padahal dalil itu dapat diamalkan dalam situasi darurat perang berbasis agama atau situasi darurat tertentu.
Adapun dalam situasi normal dan kompleks seperti saat ini, al-wala wal bara tidak dapat dipahami dengan melewati batas dengan sikap eksklusif dan intoleran sebagaimana demikian. Tetapi al-wala wal bara juga tidak boleh dipahami dalam bentuk liberalisme dan sekularisme. Al-wala wal bara harus dimaknai secara moderat dan proporsional sebagaimana pemaknaan yang dilakukan oleh kalangan Ahlussunnah wal Jamaah. Abdul Fattah bin Shalih Qiddisy Al-Yafi‘i dari Yaman (1974 M-) dalam karyanya, Tashihu Mafahim fil Wala wal Bara (Al-Yafi, 1435 H), membantah pemaknaan ekstrem baik eksklusif-intoleran maupun liberalisme-sekuler.
Pada pembukaan bukunya, Fattah Al-Yafi‘i mengatakan bahwa al-wala wal bara tali terkuat keimanan sebagaimana hadits riwayat At-Thabarani dari Sahabat Ibnu Abbas. Kekeliruan pemahaman dan tindakan serampangan ugal-ugalan terjadi karena al-wala wal bara dipahami dan diamalkan secara ekstrem baik kanan (ifrath) maupun liberal-sekuler (tafrith). Pada satu sisi, ada pihak yang mencair dalam soal agama dan menyia-nyiakan al-wala wal bara atas nama toleransi dan moderatisme (al-wasathiyah). Tetapi pada sisi lainnya, ada orang yang mengamalkannya secara keras sehingga menjauhkan orang dari Islam dan terjebak di dalam tindakan melampaui batas, bahkan menumpahkan darah anak manusia atas nama al-wala wal bara.
Buku lain :