Melihat Papua dengan Dua ‘Lensa’ Alfiyah ibn Malik
Bila diresapi lebih dalam, bait tersebut tidak cukup berhenti pada penjelasan nahwiyah saja. Jika kita maknai lebih dalam, nazam itu juga mengandung nilai-nilai filosofis semboyan kita, Bhinneka Tunggal Ika.
Saya melihat ada tiga kata kunci dalam bait yang perlu kita ambil makna filosofisnya, yaitu ikhtiyar, munfashil, dan muttashil. Kata ikhtiyar merupakan antonim dari ‘darurat’, maka bisa kita artikan juga sebagi situasi aman dan tentram yang tidak memaksa untuk bertindak semena-mena. Munfashil dan muttashil yang dimaksud dalam bait sebenarnya adalah istilah bagi nama sebuah dlomir (kata ganti). Munfashil adalah dlomir yang bentuknya terpisah dan terpecah dari fiil-nya, sedangkan muttashil adalah dlomir yang menyatu dengan fiil-nya.
Namun, dalam makna yang lebih jauh, kita maknai munfashil sebagai simbol perpecahan, dan muttasil sebagai simbol persatuan. Bila sudah begitu, bait di atas memberi pelajaran kepada kita bahwa dalam situasi Indonesia yang tenang dan damai seperti saat ini, janganlah menebar permusuhan yang bisa memecah belah bangsa. Selagi masih bisa berdamai dan bermusyawarah untuk menanamkan nilai-nilai persatuan, untuk apa kita terpecah?!”
Buku lain :