The news is by your side.

Menjaga Spirit Ramadan Dengan Berpuasa di Bulan Syawal

Menjaga Spirit Ramadan Dengan Berpuasa di Bulan Syawal | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa Barat

Rudi Sirojudin Abas – Ramadan telah berlalu. Puncaknya diakhiri dengan perayaan hari raya Idulfitri. Ibadah wajib dan sunat yang mengiringinya pun kini tinggal kenangan. Meskipun demikian, bagi muslim yang berharap amal ibadahnya diterima Allah SWT, maka berkewajiban untuk tetap menjaga spirit ibadah di bulan Ramadan. Yaitu dengan melakukan amal-amal ibadah yang dilakukan pada saat Ramadan meskipun tidak lagi berada di bulan Ramadan.

Bukankah tanda diterimanya ibadah seseorang di bulan Ramadan itu terletak pada ketaatannya dalam melaksanakan ibadah selepas Ramadan? Berkenaan dengan itu, Ibnu Rajab dalam kitab Lathaif Al- Ma’arif menyebutkan bahwa tanda diterimanya ibadah seorang hamba selama Ramadan yaitu apabila orang tersebut melakukan kembali amal ibadah di bulan-bulan berikutnya seperti apa yang ia lakukan pada saat Ramadan.

“Membiasakan puasa setelah Ramadan merupakan tanda diterimanya amal puasa di bulan Ramadan. Sesungguhnya Allah, jika menerima suatu amal seorang hamba, maka Allah akan memberikan kepadanya taufik untuk tetap melakukan amal saleh tersebut setelahnya.” (Ibnu Rajab, Lathaif Al- Ma’arif )

Selain menjadi tanda diterimanya ibadah puasa di bulan Ramadan, melakukan puasa selepas Ramadan pun dapat menghantarkan seseorang dalam meraih pahala puasa selama satu tahun. Dalam sebuah hadis Nabi SAW, disebutkan bahwa ibadah puasa yang dianjurkan dilakukan setelah bulan Ramadan adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal. Rasulullah SAW bersabda, 

مَن صامَ رَمَضانَ ثُمَّ أتْبَعَهُ سِتًّا مِن شَوَّالٍ، كانَ كَصِيامِ الدَّهْر

Artinya: “Barangsiapa berpuasa Ramadhan, lalu menyambungnya dengan puasa enam hari di bulan Syawal,maka dia seperti berpuasa sepanjang tahun.” (HR Muslim).

Berpuasa enam hari di bulan Syawal lebih utama dilakukan secara berurutan yaitu setelah hari raya Idulfitri, yakni dari tanggal dua hingga tujuh. Namun jika tidak sempat, maka dapat dilakukan pada hari-hari lainnya, tetapi harus masuk dalam cakupan bulan Syawal. 

Berpuasa enam hari di bulan Syawal meskipun hukumnya sunat, mempunyai hikmah luar biasa bagi pelakunya. Salah satu hikmahnya yaitu pengendalian terhadap nafsu jasmaniah. 

Tidak sedikit orang ketika Idulfitri tiba, kembali kepada tabi’at lamanya yaitu makan minum sesukanya. Begitu pula saat Idulfitri tiba, tempat jajanan pun kembali dipenuhi oleh para penikmatnya. Tak sedikit pula bagi mereka yang diberikan kelebihan harta, menghabiskannya dengan mengunjungi tempat-tempat wisata hanya untuk sekedar makan dan minum saja.

Suasana yang dikhawatirkan jika kondisi tersebut terjadi  adalah timbulnya sifat Al-Mubaddirin (pemboros). Jika hal ini terjadi, maka sesungguhnya kita telah terpedaya oleh bujuk rayuan setan. Sebagaimana diketahui, pemboros merupakan salahsatu perbuatan setan. Allah SWT berfirman,

اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِ ۗوَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا

Artinya: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra [17]: 27). 

Hikmah lain berpuasa di bulan Syawal yaitu berhubungan dengan empati terhadap sesama. Tak sedikit orang merayakan Idulfitri dengan keterbatasan materi dan finansial. Oleh karena itu, orang yang berpuasa di bulan Syawal secara tidak langsung telah menghargai keberadaan mereka. Terlebih jika pada bulan Syawal ini diisi dengan hal-hal yang bermanfaat bagi sesama, semisal bersilaturahmi, mengunjungi orang tua, sanak saudara dan tetangga yang diiringi dengan berbagi rezeki, maka sempurnalah rasa empati kita terhadap sesama. 

Dengan demikian, selain menjadi indikator dalam pribadi muslim yang bertakwa, puasa di bulan Syawal juga merupakan salah satu ibadah yang bernilai sosial. Yakni ibadah yang berhubungan dengan kepekaan terhadap penderitaan sesama manusia. Terlebih bagi mereka yang serba kekurangan. Nabi Muhammad SAW bersabda, 

 لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائْعٌ إِلٰى جَنْبِهِ 

Artinya: “Tidaklah disebut mukmin, yaitu orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan.” (HR Bukhari)

Wallahualam Bishawab.

Penulis adalah Nahdliyin tinggal di Kabupaten Garut.

Leave A Reply

Your email address will not be published.