NU Tak Hanya Lawan Oligarki, Tapi Juga Intoleransi Ekonomi
Oleh Ahmad Syifa
Tulisan ini merupakan respons atas dukungan KH Imam Jazuli (selanjutnya disapa Kang Imam) untuk Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam (FNKSDA) dalam artikelnya yang menyatakan, “penulis rasa, FNKSDA mestinya didukung oleh komunitas-komunitas pemuda Nahdliyin yang lebih banyak yang bergerak di ranah-ranah berbeda, termasuk ranah maritim ini” (http://m.tribunnews, 27/12/2019).
Dukungan itu diungkapkan setelah ceramah guru kita KH Said Aqil Siroj (akrab disapa Kang Said) pada 22 Desember 2019 di Pesantren Bina Insan Mulia Cisaat, Cirebon. Ketika itu Kang Said menyinggung dua istilah yang sangat penting kedudukannya dalam masalah bangsa Indonesia hari ini: oligarki dan intoleransi ekonomi. Dua istilah ini menjadi penting karena menjadi sebab langsung dari kenyataan ketimpangansosial-ekonomi yang semakin memburuk dan kian terasa dampaknya. Bagi Kang Imam, ceramah Kang Said itu menjadi gong penyempurna dimulainya ranah-ranah perlawanan baru NU terhadap kelompok oligarki di negeri ini.
Sebulan kemudian dalam wawancara dengan NU Online, Kang Imam menyebutkan dengan tegas, “istilah intoleransi ekonomi adalah jalan perlawanan, jihad pembebasan, perjuangan merebut kemerdekaan. Tidak perlu ada rasa takut melawan orang-orang pribumi sendiri, apalagi asing, yang kebetuluan memegang kekuasaan ekonomi dan politik. Tidak perlu segan melawan pemerintah karena kita hanya setia pada bangsa dan negara. Sebab pemerintah kadang representasi asing atau orang pribumi yang sudah tidak punya hati nurani”(http://nu.or.id, 19/01/2020).
Pernyataan ini mengingatkan saya pada apa yang telah diuraikan Gus Roy Murtadho dalam Akhlak dan Perlawanan bahwa dalam Q.S An-Nisa ayat 59, kepatuhan terhadap ulil amri (pemerintah) itu tidak mutlak, tetapi bersyarat (http://indoprogress.com, 08/11/2019).Menurutnya, kewajiban patuh kepada ulil amri itu jika ulil amri itu benar-benar dari rakyat dan untuk rakyat, bukan oligark.
Buku lain :