The news is by your side.

NU Tak Hanya Lawan Oligarki, Tapi Juga Intoleransi Ekonomi

Sebut saja beberapa contoh, (1) seorang ibu yang menyusui bayinya dengan penuh kasih sayang tidak menyumbang kemajuan, sementara tetangganya yang membelikan susu formula di swalayan akan dihitung kemajuan; (2) Setelah bayi itu besar, ketika Si Ibu mengajarkan anaknya itu dan beberapa teman sebayanya baca-tulis Al-Qur’an dengan ikhlas tanpa bayaran tidak dianggap berkontribusi bagi kemajuan, sementara tetangganya yang mendaftarkan anaknya ke Lembaga Bimbel bonafit berbiaya mahal akan dihitung kemajuan; (3) terakhir ketika Si Ibu bersama suaminya berhasil membangun keluarga sakinah penuh cinta tidak dicatat sebagai kemajuan, sementara keluarga tetangganya yang berantakan karena suaminya berselingkuh tiap malam menyewa hotel untuk simpanannya justru dicatat sebagai kemajuan.

Bagaimana dengan alam? Keberlanjutan layanan hutan yang menghasilkan oksigen; air dan pangan yang terkadung didalamnya yang memenuhi kebutuhan karbohidrat, protein dan mineral bagi kehidupan manusia; bukanlah kemajuan, kecuali itu semua dijadikan barang jualan dan dapat memutar uang. Seberapa pun rusaknya alam (seperti kasus pembakaran hutan untuk perluasan lahan sawit), asal ia mendatangkan keuntungan, ia tetaplah kemajuan. Sebaliknya,bencana alam dianggap ancamanbukan karena seberapa besar korban yang ditimbulkan, tetapi seberapa besar dampaknya bagi pertumbuhan kapital. Demikian pula pandangan ini bekerja dalam kebijakan penertiban dan pengamanan, layanan sosial, layanan asuransi dan seterusnya, utamanya diupayakan sejauh demi keberlanjutan putaran modal (sircuit-of capital).

Sampai di sini, tepat kiranya kapitalisme itulah sistem ekonomi yang intoleran. Intoleran baik terhadap kemaslahatan bersama umat manusia, juga intoleran terhadap keberlanjutan layanan alam. Allah Swt menyerukan bahwa kerusakan di darat dan di laut adalah ulah manusia, tapi bukan seluruh manusia. Merekalah para perusak bumi, merekalah para pelaku dan pendukung intoleransi ekonomi! Tepat kiranya Kang Imam mengatakan bahwa melawan intoleransi ekonomi atau kapitalisme adalah jihad fi sabilillah karena berarti memperjuangkan kehidupan. Sudah saatnya jamaah NU untuk intoleran terhadap intoleransi ekonomi, untuk selanjutnya membangun kembali ekonomi yang berasaskan toleransi dan solidarityWallahu a’lam.

Penulis adalah alumnus Pesantren Attarbiyatul Wathoniyah (PATWA) Mertapada, Cirebon dan Pegiat di FNKSDA Cirebon.

Baca juga resensi buku lainnya :

  • Gerakan Syiah di Nusantara: Anasir Berimbang Sejarawan Muda. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
  • ejarah Pergerakan Nasional. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
  • Historiografi Islam dan Momi Kyoosyutu. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
  • Jalan Sunyi dan Rambut Gimbal : Sebuah Interpretasi atas Kehidupan Gus Qomari. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
Leave A Reply

Your email address will not be published.