NU Tak Hanya Lawan Oligarki, Tapi Juga Intoleransi Ekonomi
Dalam sistem kapitalisme, surplus nilai yang dihasilkan kerja buruh bukanlah hak si pemiliknya. Ia menjadi milik si pemilik kapital. Siapakah pemilik kapital, yang dalam istilah Kang Said “Segelintir Orang Berduit” itu? Merekalah Para Oligark. Negara Kapitalis-Oligarkis itu ibarat kemegahan gemerlap gedung-gedung pencakar langit di Ibu Kota, yang dalam angkuhnya menamakan dirinya sebagai kemajuan dan kemakmuran. Ekonom kapitalis kita tidak pernah simpati pada ‘tenaga kerja manusia, sehingga enggan memberitakan orang-orang yang hidup pas-pasan dari kerja membersihkan toilet kamar-kamar kemajuan itu, sebagai penopang utama kemakmuran. Ia juga tidak pernah melirik warga di pemukiman kumuh yang mengadu nasib karena tak punya pilihan, yang justru sering kali digusur dan dicaci pula, sebagai anak kandung kemajuan metropolitan.
Sudah begitu, ada pula yang mengatakan, “kan mereka pekerja rendahan, tak punya keterampilan, apalagi modal seperti halnya jutawan? Pantas pula lah kemudian nasib menerjunkan mereka di jurang kemiskinan.” Nah, justru di sinilah bagaimana kapitalisme itu disebut intoleran, tepatnya intoleran terhadap arti kerja (menurut Marx, bukan Jokowi) yang menjadi dasar kemanusiaan. Kondisi yang serba terbatas dan dirundung keterpakasaan yang mereka alami, adalah kondisi yang sistemik, menyejarah dan tak terelakkan. Tanpa mengenali terus menerus kait kelindan benang kusut sistem ini, seseorang paling banter hanya bisa menyalahkan pihak-pihak yang sebetulnya korban, bahkan menyalahkan tuhan. Maraknya pengangguran dalam sistem kapitalisme adalah suatu hal yang menjadi konsekuensi yang terus dipertahankan. Ia menjadi cadangan pekerja yang sewaktu-waktu dibutuhkan. Sedangkan di pabrik, upah kecil adalah satu-satunya pilihan, dari pada ia dipecat dan digantikan oleh armada buruh cadangan. Di antara mereka sendiri diciptakan situasi yang penuh persaingan.
Konsekuensi berikutnya dari mantra akumulasi (U-B-U’-B-U” … tak berhingga) itu, kapitalisme mendasarkan tolok ukur kemajuan selalu pada orientasi pembesaran keuntungan. Kita tentu ingat, para ekonom berulangkali menyebutkan bahwa nama lain dari kemajuan adalah pertumbuhan, lebih tepatnya pertumbuhan kapital. Tolok ukurnya seperti konsepProduk Domestik Bruto (PDB) yang dihitung berdasarkan di antaranya pendapatan perkapita dan daya beli masyarakat. Tolok ukur ini pada dasarnya adalah untuk mengukur seberapa cepat dan seberapa besar laju putaran uang yang beredar di suatu negara. Sementara kedudukan manusia, alam, bumi seisinya, bahkan jagat raya jika memungkinkan, tidak lebih dianggap sebagai barang dagangan. Sejauh ia mendatangkan pembesaran keuntungan, ia akan dianggap kemajuan.
Buku lain :